Friday, February 27, 2015

Ya Alloh, kuatkan tekadku untuk menyelesaikannya.



Originally written on Selasa, 3 Februari 2015

Tentang satu matakuliah wajib yang harus ditempuh untuk menjadi sarjana.

Satu matakuliah dengan bobot minimal 4 sks. Itulah matakuliah yang harus ditempuh untuk menjadi sarjana.

Sebenarnya matakuliah tersebut tidaklah sulit. Hanya satu matakuliah. Tidak ada jadwal kuliah yang harus dihadiri untuk menempuh matakuliah tersebut. Jadwal yang dibuat bisa sangat fleksibel dan menyesuaikan dengan kesibukan yang ada.

Namun mengapa kiranya satu matakuliah tersebut tak kunjung selesai? Ada apa gerangan? Kendala apa yang dihadapi? Itulah pertanyaan yang harus kulontarkan pada diriku sebagai bahan introspeksi diri.

Kendala pertama: waktu luang yang tidak dimanfaatkan.

Waktu luang adalah pembawa kerusakan. Al-farooghu mafsadah. Waktu luang yang tidak digunakan adalah pembawa kerusakan. Bayangkan, betapa banyak peluang yang dapat digunakan untuk mengisi waktu luang itu. Mulai dari melakukan sesuatu yang tidak bermanfaat sampai melakukan sesuatu yang membawa petaka.

Sebenarnya, waktu luang adalah anugerah. Anugerah yang harus dimanfaatkan dengan sebaik – baiknya. Banyak hal positif yang dapat dilakukan untuk mengisi waktu luang yang dimiliki. Seorang muslim yang baik tidak akan membiarkan waktu yang dimilikinya berlalu dengan sia – sia tanpa diisi dengan hal – hal yang memberikan manfaat dan mendatangkan keridhoan Alloh.

Membaca Al-Qur'an, membaca buku, menuliskan ide – ide positif, dan berbagai aktivitas lainnya dapat digunakan untuk mengisi waktu luang. Berkumpul dengan orang – orang baik juga dapat digunakan untuk mengisi waktu luang. Menyendiri akan membuka peluang bagi diri untuk terjerumus dalam jebakan setan, terjerumus melakukan hal – hal yang kurang bermanfaat sampai hal – hal yang mendatangkan murka Alloh.

Intinya, jangan sampai waktu luang yang ada malah membawa diri ke dalam hal – hal yang tidak ada manfaatnya atau hal – hal yang bahkan dimurkai Alloh. Isilah waktu luang yang ada dengan hal – hal yang mendatangkan manfaat dan keridhoan Alloh. Manfaat bagi diri sendiri dan orang lain.

Kendala kedua: aktivitas yang tidak terjadwal.

Aktivitas apa pun yang dilakukan, seharusnya terjadwal dengan baik. Mulai dari kegiatan harian yang berkaitan dengan diri sendiri sampai kegiatan yang mendatangkan perubahan. Semakin dewasa, seseorang semakin dituntut untuk membuat hidupnya menjadi terjadwal dengan baik. Sisa waktu hidup yang dimiliki semakin lama semakin berkurang seiring bertambahnya hari yang dilalui. Jangan sampai sisa hidup yang ada menjadi sia – sia tanpa memberikan manfaat.

Kendala ketiga: jauh dari keluarga dan orang – orang yang dicinta

Jauh dari keluarga, itulah yang dialami oleh mahasiswa. Untuk menjadi orang yang berpendidikan, memang harus ada pengorbanan yang harus dibayarkan. Salah satunya adalah meninggalkan keluarga tercinta untuk menimba ilmu.

Sebenarnya berada jauh dari keluarga bukanlah masalah serius. Kiriman uang selalu datang, walaupun tidak selalu tepat waktu. Namun yang menjadi masalah adalah saat diri terlena dengan kesilauan di kota tempat menimba ilmu. Terlena dengan kehidupan yang terasa bebas karena tidak dipantau oleh keluarga.

Saat diri terlena dengan berbagai kesilauan yang ada di kota tempat menimba ilmu, hati ini mulai berpaling dari tujuan utama datang di kota ini. Tujuan utama yang awalnya terfokus untuk menimba ilmu, menambah pengalaman hidup, mencari relasi, perlahan – lahan beralih pada tujuan semu, untuk menikmati nyamannya hidup di kota. Perlahan melupakan keluarga yang menunggu kepulangan diri ini di rumah.

Betapa banyak godaan yang mengalihkan fokus utama kedatangan diri di kota tempat menimba ilmu. Membuat diri ini lupa pada keluarga yang menanti di rumah.

Kendala keempat: kurangnya teman yang bisa diandalkan.

Teman merupakan orang yang terdekat yang mengerti diri ini. Saat aku tidak bisa berteman, yang kurasa hanyalah kesendirian. Kesendirian dalam menanggung beban yang terasa begitu berat tanpa ada teman dekat yang dapat dijadikan tempat berbagi dan bercerita tentang masalah yang ada.

Saat masalah menumpuk dan semakin menumpuk, diri ini membutuhkan teman untuk berbagi dan menceritakan masalah yang ada. Hiburan dan canda tawa bersama teman yang mengerti beban yang dihadapi terasa sangat membantu meringankan masalah yang dihadapi.

Kendala kelima: terlalu segan untuk bertemu dosen pembimbing.

Takut menemui dosen pembimbing merupakan kendala utama dalam menyelesaikan matakuliah akhir. Memang dosen pembimbing kadang juga marah. Namun kemarahan tersebut bukanlah karena kebenciannya kepada mahasiswa. Marahnya dosen pembimbing adalah bukti bahwa dosen tersebut masih sayang dan menaruh perhatian kepada mahasiswa yang dibimbingnya. Dosen ingin mahasiswa yang dibimbingnya untuk segera menyelesaikan studinya dan menjadi orang yang sukses.

Namun pandangan mahasiswa terkadang berbeda dari apa yang dirasakan dan dikehendaki oleh dosen. Diri ini kadang merasa begitu takut, jikalau nantinya dosen pembimbing membenci diri ini. Rasa takut ini membuat diri ini mengurungkan niat untuk menemui dosen pembimbing, membuat matakuliah akhir tersebut tak kunjung selesai.

Itulah lima hal yang kuanggap menjadi penghalang dalam menyelesaikan matakuliah akhir. Sepertinya mudah untuk mengatasi penghalang yang ada, karena kelima halangan tersebut memiliki solusi teoritis. Namun pada kenyataannya, butuh tekad dan niat yang kuat untuk dapat menerapkan solusi tersebut.

Semoga diri ini diberikan kemudahan untuk mengatasi berbagai halangan yang menghambat terselesaikannya matakuliah akhir. Menjadi seorang sarjana yang membahagiakan orang tua, keluarga, dan berguna bagi masyarakat dan negara.

Bismillah, aku bisa. Bantu aku, ya Alloh. Berikan kekuatan pada diriku yang lemah ini, ya Alloh. Teguhkanlah langkahku, kuatkanlah tekadku, tetapkanlah jalanku, ya Alloh.

Mudahkanlah bagiku, ya Alloh.

Aamiin.

Back to campus

Originally written on Selasa, 3 Februari 2015

Kembali ke kampus.
Ada kalanya seorang yang begitu bersemangat mengalami kondisi di saat semangat tersebut memudar. Itulah yang kualami selama beberapa bulan di tahun 2014 yang lalu.

Kalau dilihat dari nilai yang kuperoleh selama menempuh studi di kampusku ini, aku termasuk mahasiswa yang istimewa. Sebuah angka yang banyak mahasiswa bermimpi dan berusaha dengan sepenuh hati untuk meraih indeks prestasi tersebut. Aku pun memperoleh nilai tersebut dengan doa dan jerih payah yang kujalani selama aku masih bersemangat menempuh kehidupan di kampus ini. Tentunya juga dengan bantuan Alloh swt.

Indeks prestasi akademis bukanlah segalanya. Nilai diri seseorang tidak dapat diukur hanya dengan melihat indeks prestasi tersebut. Banyak hal yang berkontribusi terhadap nilai diri seseorang. Indeks prestasi selama menjadi mahasiswa hanyalah satu dari banyak hal yang menentukan nilai diri seseorang.

Tentang apa yang menjadi tolok ukur dalam menentukan nilai diri seseorang, aku hanya bisa menyebutkan satu hal: seberapa banyak manfaat yang telah diberikan bagi orang lain.

Keberadaan seseorang di dalam masyarakat dinilai dari seberapa manfaat yang ia berikan kepada masyarakat. Orang yang dianugerahi kecerdasan akal, jika tidak memberikan manfaat bagi masyarakat, maka orang tersebut tidak memiliki nilai bagi masyarakat. Keberadaannya di sana sama saja dengan ketiadaannya. Wujuuduhu ka'adamihi, begitulah deskripsi yang menggambarkan ketidakbermanfaatanannya bagi masyarakat.

Idealnya, setiap anggota masyarakat menyumbangkan apa yang menjadi keahliannya untuk masyarakat. Cukuplah dengan apa yang menjadi kompetensi aku, tak perlu memaksakan diri untuk melakukan hal – hal yang luar biasa. Cukup diawali dari hal – hal kecil yang bisa dilakukan.

Mulailah dari diri sendiri. Berikan manfaat kepada diri sendiri. Makan teratur. Jaga kebersihan badan, pakaian, dan tempat tinggal. Selanjutnya berangsur – angsur meluas, memberikan manfaat kepada orang terdekat. Buat orang yang berada di dekat aku merasa nyaman dengan keberadaan aku di sisi mereka. Jangan sampai orang – orang yang terdekat dengan aku merasa muak dengan keberadaan aku. Selanjutnya diusahakan untuk memberikan manfaat bagi tetangga dan sekitarnya.

Idealnya, seseorang tidak menjadi beban bagi orang lain. Seseorang yang menjadi beban bagi orang lain haruslah berpikir bagaimana meringankan beban orang yang menanggungnya. Lebih baik lagi jika seseorang yang selama ini hanya menjadi beban, berusaha untuk bisa mandiri sehingga tidak menjadi beban berkepanjangan bagi orang yang selama ini menanggungnya. Kalau perlu, berikan manfaat dan bantu ia untuk meringankan beban yang selama ini ditanggungnya.


Berterima kasih atas kebaikan orang lain. Menghargai kebaikan yang telah diberikan oleh orang lain padaku. Setidaknya itulah yang harus aku lakukan ketika aku tidak bisa membalas kebaikan orang lain. Jangan sampai membalas kebaikan orang lain dengan keburukan. Kalau perlu, balaslah keburukan dengan kebaikan. Perbanyaklah menanam kebaikan demi kebaikan. Tidak masalah seberapa kecil kebaikan yang ditanam, tetaplah menanam kebaikan. Niscaya kebaikan yang ditanam akan membuahkan hasil di masa depan nanti.