Thursday, July 27, 2017

Pejuang yang berhati besar

Setelah sekian lamanya

Hari itu dia melangkahkan kakinya ke kampus setelah dua tahun lamanya dia menghilang dari kampus. Hatinya dilanda perasaan tak menentu, apakah sambutan kampus padanya yang telah lama ditinggalkannya. Ternyata kampus tidak menyambut dan tidak mengolok-oloknya. Kampus hanyalah kumpulan bangunan-bangunan yang menjulang tinggi yang dipenuhi oleh orang-orang yang berlalu-lalang dengan berbagai kesibukan masing-masing.
Saat itu dia pun sadar, mengapa selama dua tahun ini dia sama sekali takut menjejakkan kaki ke kampus. Apa yang dia khawatirkan bahwa kampus akan mengolok-oloknya, menghardiknya, atau bahkan mengusirnya dengan kasar tidak dia dapatkan. Kampus hanyalah bangunan bersejarah yang dulunya merupakan tempat menimba ilmu pengetahuan. Orang-orang di kampus pun seperti orang-orang di manapun dengan semboyan yang selalu tepat, tak kenal maka tak sayang.
Apa yang dikhawatirkan oleh dirinya bahwa tidak ada lagi teman-teman seperjuangan yang datang ke kampus ternyata terjadi. Sesekali ada seorang yang menyapa dirinya dengan panggilan yang membuat dirinya teringat dengan nama itu.
Dia pun sadar bahwa orang yang berperan sebagai pembimbing masih peduli dan sayang pada dirinya. Dia pun meminta maaf atas perilakunya selama ini. Namun sang pembimbing berkata bahwa tak ada yang bisa dilakukan tanpa adanya status aktif sebagai mahasiswa di kampus bersangkutan.
Maka dia pun segera beranjak dari hadapan sang pembimbing. Dengan penuh bimbang dan hati yang diliputi oleh kekhawatiran, dia pun mengumpulkan segenap keberaninannya untuk maju dan melangkah menuju sang penentu yang memiliki wewenang terkait status aktif sebagai mahasiswa. Masih membawa harapan bahwa dirinya masih punya satu kesempatan untuk meraih gelar kesarjanaan, dia beranikan dirinya untuk melangkahkan kakiknya menuju meja tersebut.
Ketika mendengarkan apa yang disampaikan oleh sang penentu, betapa kecewa dan hancur perasaannya. Namun tak setetespun air mata berlinang karena hatinya telah terlalu lama tertutup.
Diapun melangkah dari meja penentuan tersebut. Dia tidak sedikitpun memendam kebencian pada sang penentu yang telah menghancurkan cita-citanya untuk memperoleh gelar kesarjanaan dari kampus tersebut. Dia tidak menyalahkan siapapun atas keputusan yang diterimanya saat itu.

Bercermin pada masa lalu

Dia bercermin pada dirinya tentang apa yang telah dilakukannya selama ini. Ketika teman-teman seperjuangannya menitikkan keringat dan air mata demi memperjuangkan apa yang mereka cita-citakan, dia tidak berbuat seperti apa yang diperbuat oleh teman-teman seperjuangannya.
Dia melihat betapa salahnya apa yang dia lakukan ketika itu. Apa yang seharusnya dia lakukan justru dia tinggalkan demi berjalan di dunia kesendirian. Dunia di mana dia mengabaikan teman-teman yang dimilikinya. Dunia di mana dia berjalan ke manapun kesendirian membawanya. Dunia di mana dia bebas melakukan apa saja yang dia inginkan tanpa mempedulikan mana yang penting dan mana yang tidak penting.
Dia melihat dirinya di saat itu sebagai seorang yang tidak memiliki tujuan yang jelas. Dia melihat betapa dirinya saat itu diliputi oleh kegelapan hati yang menutup mata hatinya.
Dia menyadari bahwa apa yang selama ini dilakukannya adalah sebuah kesalahan. Dia pun mulai melangkah untuk lembar kehidupan berikutnya.

Hidup terus berlalu

Bercermin dari masa lalunya membuatnya sadar bahwa ketika dirinya berhenti melangkah, di sanalah terjadi hal-hal yang berpeluang untuk menutup mata hatinya terhadap kebenaran. Dia pun menyadari bahwa ini bukan saatnya untuk jatuh kelam di dalam kegelapan hati yang berkepanjangan.
Dia pun mulai melangkah dengan segala keberanian. Mengabaikan apa yang dikatakan oleh orang lain tentang dirinya. Dia ingin kembali berkumpul dengan teman-teman seperjuangan. Walaupun berat baginya, dia berusaha untuk menghargai apa yang telah dicapai oleh teman-teman seperjuangan tanpa merasa bahwa dirinya adalah lebih rendah. Dia berusaha mengakui apa yang telah dicapai oleh teman-teman seperjuangan tanpa memendam iri hati dan kedengkian.
Jerih payah yang telah mereka usahakan memang layak bagi mereka. Dia menjadikan apa yang telah dicapai oleh teman-temannya seperjuangan sebagai cambuk untuk memaksanya mengerahkan segala daya dan upaya untuk lembar kehidupan berikutnya.
Sejak saat itu, dia mulai melangkah. Dia tetap melangkah dan melangkah, walaupun terjatuh dan tertatih-tatih, untuk mengejar apa yang telah dicapai oleh teman-teman seperjuangannya.
Dia tetap berharap dan tidak putus harapan kepada Allah, sang pemberi harapan. Di kala semua usaha telah dilakukan, namun buah dari usaha tersebut tak kunjung diperoleh, dia tetap ingat dan dia camkan dalam dirinya bahwa dia masih memiliki Allah sebagai tempat mengadukan segala permasalahan.

Dengan berat hati

Menerima keputusan yang tidak sesuai dengan apa yang diinginkan memang sangat berat. Apalagi untuk dirinya yang memiliki kecenderungan untuk tampil sempurna.
Dia menginginkan kesempurnaan dalam apa yang dijalani olehnya. Ketika kesempurnaan tersebut tidak lagi diraihnya, dia berusaha memendam kekecewaan dan kesedihan di dalam hatinya.
Dia tidak lagi membanding-bandingkan dirinya dengan teman-teman seperjuangan yang sudah memperoleh kesempurnaan tersebut. Dia berusaha meyakinkan dirinya bahwa betapa beruntungya dirinya. Kesempatan yang telah diberikan pada dirinya untuk menimba ilmu di kampus itu merupakan kesempatan yang tidak semua orang bisa mendapatkannya. Dia yakinkan dirinya bahwa dialah salah satu orang yang beruntung memperoleh kesempatan itu walaupun pada akhirnya kesempatan itu tidak berakhir dengan kesempurnaan.
Tidak ada manusia yang sempurna. Dia menyadari hal itu. Dia menyadari bahwa dirinya hanya seorang manusia. Tak pernah ada manusia yang sempurna.
Betapapun sempurna seorang manusia, pasti ada cacat padanya. Dia menyadari hal itu. Dia menyadarkan hatinya tentang adanya cacat pada dirinya.
Dia tetap berusaha dan berjuang untuk dapat mewujudkan impiannya untuk meraih gelar kesarjanaan, walaupun harus meninggalkan kampus tercinta untuk menyelesaikan tugas akhir di kampus lain.

No comments:

Post a Comment