Monday, June 28, 2010

Menghadiri pernikahan sang murobbi

بسم الله الرحمن الرحيم
Hidup adalah perjuangan.
Pelajaran itulah kiranya yang dapat kuambil dari apa yang kualami pada tanggal 26 sampai 27 Juni 2010. Pada hari itu aku benar-benar dalam kesibukan. Tapi aku masih saja bisa mementingkan diriku sendiri daripada orang lain. Pada hari Sabtu, 26 Juni 2010 aku diminta oleh murobbiku – Mas Budiyanto, S.H. untuk datang terlebih dahulu ke kota Solo demi menyimak bacaan Qur'an oleh Ust. Riyadhush-Sholihin.
Aku pun berangkat bersama-sama dengan Ashar, Nurkholis, Mas Reza, Mas Barnad, Mas Edi, dan Mas Budiyanto, SH. Akupun berangkat ke kota Solo bersama-sama mereka dalam sebuah mobil Avanza yang dipenuhi oleh barang bawaan seperti 2 unit televisi dan barang-barang lain. Duduk di mobil itu terasa sempit dan berhimpit-himpitan, namun perjalanan terasa sangat cepat walaupun kondisi jalanan Yogyakarta begitu macet. Semua kemacetan tersebut tak dirasakan oleh kami yang memenuhi perjalanan dengan canda tawa dan rasa penasaran akan bulan yang tidak purnama saat terjadinya Ayyamul-bidh (pertengahan bulan Qomariyah). Ada temanku yang mengatakan bahwa saat itu terjadi gerhana bulan (khusuuful-qomar). Ada juga yang mengatakan bahwa bulannya masih tertutup awan sehingga hanya tampak sebagian. Namun yang terpenting bahwa bulan adalah tanda kekuasaan Alloh. Alloh berhak mengubah wujud bulan sebagaimana Dia kehendaki. Allohu akbar!
Sesampainya di Solo, sholat Maghrib dan Isya yang tertunda karena perjalanan tersebut kami lakukan secara jama'. Terjadi sedikit perdebatan sebelum sholat karena Mas Reza dan Ashar berpendapat bahwa sholat Isya dilakukan lebih dahulu karena waktunya telah lewat, kemudian dilaksanakan sholat Maghrib. Aku berselisih pendapat dengan mereka berdua karena sholat Maghrib belum dilakukan, maka sholat Maghrib dilakukan terlebih dahulu baru kemudian dilakukan sholat Isya'. Perselisihan pendapat tersebut akhirnya diakhiri dengan menunjukku sebagai imam. Aku pun mengimami sebagaimana sholat jama' qoshor. Maghrib 3 raka'at dilanjutkan Isya' 2 raka'at. Semoga Alloh mengampuni kami dan menjadikan perdebatan kecil ini untuk lebih memotivasi dalam menuntut ilmu sehingga ilmu yang ada tidak hanya sekedar tahu tapi paham dengan sedetail-detailnya.
Seusai sholat, aku pun bergegas menuju Apip's Griyo Kuno. Keadaan di sana masih belum tertata rapi sehingga aku harus sedikit membantu menata kursi. Alhamdulillah dengan menata kursi ini keringat bisa keluar dari badanku sehingga metabolisme tubuh bisa lebih baik. Tak lama kemudian aku membuka handphone dan menelepon ibuku. Ternyata adikku Ziha Ul-Haq berada di rumah eyang di Nganjuk. Adik Bernas Pandu Husna baru saja pulang dari Malang. Thursina Fatih Ulum masih belum liburan. Sarah Masithoh selalu ada di rumah. Alhamdulillah. Kemudian aku menelepon Bulik Yuni di Nganjuk, tapi tidak ada jawaban. Akhirnya aku duduk-duduk sejenak di beranda Griyo Kuno. Tak lama kemudian handphoneku berdering. Ternyata Bulik Yuni menelepon balik. Aku pun berbincang-bincang dengan Ziha Ul-Haq tentang bagaimana keadaan pondok dan bagaimana kesibukan Ulhaq saat ini. Ulhaq menyampaikan bahwa liburan kali ini hanya sepuluh hari saja karena akan ada yudisium. Aku pun menasehatinya untuk tetap menjaga kekompakan bersama teman seangkatan, karena bagaimanapun juga yudisium tidak bisa diatasi sendirian. Aku menceritakan pengalaman pahitku saat yudisium – ketika aku meninggalkan kawan-kawanku dan pulang selama seminggu. Pada saat aku kembali, kudapati lemariku hancur berantakan. Betapa jengkel dan marahnya hatiku mendapati teman-temanku tega berbuat demikian padaku. Namun kusadari bahwa kemarahan dan kejengkelan teman-temanku terhadapku lebih dari itu. Aku pun meminta maaf dan menanggung semua ini dengan penuh rasa menyesal. Kunasehatkan pada Ziha Ulhaq agar tidak meninggalkan pondok selama pekerjaan yudisium belum selesai supaya apa yang kualami ini tidak terulang padanya.
Malam semakin larut. Ketika itu Mas Budi membagikan sejumlah Al-Qur'an yang telah dijilid berdasarkan juznya. Aku dan kawan-kawanku: Ashar dan Nurkholis mendapatkan 7 jilid. Di dalam hatiku aku bertanya: sanggupkah aku mengkhatamkan 7 juz dalam semalam? Jujur aku katakan, rasanya terlalu berat bagiku untuk menanggung ini semua. Tapi semua ini kujalani dengan sebaik-baiknya, sambil menahan kantuk yang menggelantungi mata. Hingga pada pukul 00:00 lebih sedikit, aku berhasil menyelesaikan 4 juz. Suara seakan-akan serak, kerongkongan kering, dan mata semakin tak bisa diajak berkompromi. Akhirnya aku tertidur di tempat dudukku. Mungkin beberapa menit kemudian, Mas Barnad membangunkanku untuk pindah tempat tidur ke masjid agung yang memiliki desain arsitektur kuno dengan lantai serba kayu. Akhirnya aku tidur di sana dengan nyenyak hingga adzan Shubuh berkumandang.
Ba'da Shubuh, ternyata Ust Riyadhush-Sholihin yang dinanti-nanti tidak kunjung datang. Aku pun bergegas mandi dan tidur sejenak dengan tidak nyenyak. Pada jam 6 pagi (27 Juni) aku bergegas menuju Griyo Kuno untuk menyelesaikan targetku. Sampai jam 8 pagi aku hanya bisa membaca 1 juz. Ya begitulah keadaanku sebelum acara pernikahan Mas Budiyanto dan Mbak Septiana dimulai.
Akhirnya pada jam 8:30 acara pernikahan yang dinanti-nanti telah tiba. Satu momen yang sangat singkat tapi begitu mendebarkan adalah pada saat ijaab-qobuul. Saat yang menentukan: penyerahan amanah yang sangat besar. Peralihan status dari bujangan menuju sudah menikah. Diperlukan mental yang kuat untuk mengatasinya. Disusul oleh Ust Syatori yang membawakan doa yang begitu mengharukan. Kemudian Ust Syatori menyampaikan ceramah berkaitan dengan pernikahan. Dalam ceramahnya beliau menegaskan bahwa dengan menikah, seseorang telah menyempurnakan separuh agamanya dan melepas beban berat masa bujangnya. Seorang yang masih membujang menanggung beban yang sangat berat: memikirkan wanita sedunia yang melelahkan akal dan fisik. Dengan pernikahan, maka beban pikiran hanya terfokus pada satu wanita: sang istri. Akan tetapi beban seseorang yang sudah menikah bisa menjadi dua kali lipat lebih berat daripada beban pikiran seorang bujangan: pada saat ada wanita lain yang terlintas di benaknya. Di sini Ust Syatori menegaskan pentingnya menyegerakan pernikahan pada saat seseorang telah mampu, karena menunda-nunda pernikahan berarti membiarkan diri bergelimang dosa. Begitulah kira-kira isi ceramah Ust Syatori yang merasuk ke dalam ingatanku.
Disebutkan dalam Qur'an
فانكحوا ما طاب لكم من النساء مثنى و ثلاث و رباع
Memang apa yang disebutkan di dalam Al-Qur'an tentang menikah ini tidak salah. Namun akankah seorang suami dapat berbuat adil ketika memiliki istri lebih dari satu? Pada zaman sekarang ini, kebanyakan wanita tidak rela jika suaminya menikahi lebih dari satu orang istri karena kebanyakan suami tidak bisa berbuat adil sebagaimana adilnya Rosululloh. Wallohu a'lam.

No comments:

Post a Comment